Langsung ke konten utama

Rumah Bambu

 


Puisi Aris Rahman Yusuf

(Dimuat di nominaidekarya.com, 15 Okt 2024)


Rumah Bambu


Saat membersihkan rumah

terlintas olehku

tentang sebuah ingatan

rumah bambu

berdinding kata mutiara


Di kamar tengah

aku pernah tenggelam

oleh banjir air mata

sebab sebuah kepulangan


Setelah kepulangan

bayangan lesap

kata-kata tergenggam erat

dan, ketika lepas

ia beraroma mawar


Mojokerto, 9 Agustus 2024


Lengkapnya baca DI SINI!


Biodata Penulis

Aris Rahman Yusuf, pencinta bahasa dan editor lepas. Suka menulis puisi dan nonfiksi. Tulisannya pernah terbit berupa antologi, di media massa, dan di media daring. Dua buku puisinya yang sudah terbit, yaitu Ihwal Kematian Air Mata (buku puisi solo) dan Lelaki Hujan (buku puisi duet). Facebook: Aris Rahman Yusuf dan Instagram: @aryus04.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...

Cerpen Fauzan Murtadho | Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?

Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya. “Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat. Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami. Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup u...