Langsung ke konten utama

Belajar Esai di Rumah Dunia


Oleh Najullah

Pada Minggu, 6 Oktober 2024, Rumah Dunia menggelar Workshop Menulis Esai untuk pegiat literasi se-Kota Serang dengan tema "Praktik Baik Pegiat Literasi Kota Serang", bertempat di Auditorium Rumah Dunia Kota Serang.

Saya menjadi salah satu peserta workshop mewakili komunitas Klinik Menulis binaan Kang Encep Abdullah yang berada di Kec. Walantaka, Kota Serang. Adapun yang tampil sebagai narasumber adalah Toto ST Radik dan Firman Venayaksa atau Firman Hadiansyah. Diskusi ini dimoderatori oleh Fazri.

Salah satu peserta, Mela, didaulat sebagai perwakilan peserta untuk menerima penyematan tanda peserta yang diserahkan oleh Presiden Rumah Dunia, Abdul Salam. Mela adalah salah satu pegiat literasi, anggota Klinik Menulis. 

Toto ST Radik, namanya sudah sangat familiar, beliau adalah penulis dan penyair kawakan kelahiran Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Nama besarnya sebagai penyair sudah malang melintang di dunia literasi. Kabar terbaru bahwa beliau dinobatkan sebagai salah satu dari tujuh finalis pembaca puisi terbaik tingkat Nasional piala H.B. Jassin 2024. 

Menurut pengakuan Mas Toto bahwa beliau sudah menyusun materi dalam format power point yang berisi tentang sekitar penulisan esai, namun setelah mendapatkan kepastian dari panitia bahwa agenda yang diberikan panitia bukan tentang esai namun tentang “literasi” secara umum, akhirnya materi power point tersebut tidak disampaikan. Pada awal penampilannya terlihat sedikit kaku karena harus terpaku dengan kisi-kisi yang sudah ditentukan panitia. Meskipun demikian, sebagai penyair yang sudah malang melintang berada di atas panggung baik untuk perform membaca puisi ataupun kajian diskusi, beliau selalu terlihat profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai narasumber.

Setelah membaca beberapa esai yang dikirimkan peserta sebagai syarat menjadi peserta workshop, Mas Toto menjelaskan bahwa esai yang ditulis peserta sebagian masih menggunakan kaidah-kaidah baku yang strukturnya sangat mengikat seperti ada pendahuluan, latar belakang masalah, dan lain sebagainya, sedangkan dalam menulis esai, kaidah-kaidah baku tersebut tidak dibutuhkan. Menulis esai tidak terikat dengan kaidah-kaidah baku, cenderung lebih bebas, bersifat personal dan isinya lebih kepada subjektivitas penulis dalam menyampaikan opini. 

Terkait dengan tugas yang akan diberikan kepada peserta setelah acara workshop selesai, yaitu peserta harus menulis esai dengan tema “Praktik Baik Pegiat Literasi Kota Serang”. Maka, Mas Toto memberikan tips menulisnya, yaitu mulailah dengan menulis tanpa henti minimal lima menit, jangan hiraukan hasilnya, yang pasti tulisan yang tercipta dari menulis tanpa henti tersebut pasti tidak beraturan. Setelah itu lakukan revisi minimal lima menit, lalu istirahat. Jika pikiran sudah fresh lalu kembali mengerjakannya sampai selesai. Dan yang tidak kalah penting, Mas Toto juga menyarankan agar membuat kerangka tentang hal apa saja yang mejadi poin penting yang akan di bahas di dalam esai agar tulisan bisa terarah. 

Firman Hadiyansah atau Firman Venayaksa adalah sosok aktivis sastra yang juga merupakan dosen sastra di Universitas Tirtayasa. dalam penjelasannya beliau memaparkan bahwa esai terbagi menjadi dua, yaitu esai akademik dan esai populer. Esai akademik ditulis menggunakan aturan-aturan resmi yang sudah ditetapkan dan ditulis dengan menggunakan gaya bahasa formal. Esai akademik hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas, yaitu kalangan akademisi, biasanya esai akademik disebarkan di media yang terindeks scopus sebagai basis data yang mencakup literatur ilmiah segala jenis disiplin ilmu pengetahuan. Adapun esai populer disusun berdasarkan subjektivitas yang bersifat personal penulis, tidak terikat dengan aturan formal penulisan. Penulis esai populer bebas beropini apa saja yang ingin diungkapkan asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Esai populer lebih banyak mendapatkan pembaca karena bisa dengan mudah didapatkan dari media-media mainstream baik cetak maupun online. Lebih lanjut Firman menjabarkan bahwa esai populer yang baik adalah esai yang mempunyai lead paragraf yang bisa “memantik”. 

Sebagai penutup, Pak Firman menjelaskan bahwa esai populer adalah sebagai karya seni, berestetika, dan menghibur. Sebagai karya seni, tentu gaya penulisannya pun berdasarkan imajinasi yang tidak bisa dibatasi. Meskipun demikian harus bisa dipertanggungjawabkan.  Baik esai akademik maupun esai populer jika penulis menggelutinya, keduanya bisa mengubah strata kehidupan penulisnya menjadi lebih baik. 

Saat sesi tanya-jawab dibuka, Fazri sebagai moderator memberikan kesempatan kepada tiga orang peserta. Pada kesempatan tanya jawab pertama, sengaja saya tidak mengangkat tangan karena memberi kesempatan kepada peserta lainnya yang mayoritas lebih muda dari saya. Namun, pada kesempatan kedua saya bertekad harus mendapatkan mikrofon untuk bertanya, rupanya nasib untung belum berpihak kepada saya. Peserta yang diizinkan memegang mikrofon untuk bertanya adalah seorang perempuan yang duduknya persis di depan saya. Pada kesempatan ketiga, Fazri memberikan aba-aba menghitung satu sampai tiga, namun saya sudah mengangkat tangan terlebih dahulu sebelum aba-aba selesai, rupanya Fazri memperhatikan saya yang dari tadi antusias ingin bertanya. Ia pun memberikan mikrofonnya kepada saya seraya mengizinkan untuk bertanya. 

Penanya pertama, Novi, menanyakan tentang tips membuat buku. Penanya kedua, Kartika, menanyakan tentang pengalamannya mencoba untuk membuat esai tetapi terjerumus membuat cerpen. Sedangkan penanya ketiga, Najullah, menanyakan tentang paradoks antara esai akademik dan esai populer. 

Mas Toto memberikan jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa jika membuat esai malah jadinya cerpen maka harus bersyukur karena bisa diperbaiki untuk membuat dua karya sekaligus, esai dan cerpen, sedangkan pada pertanyaan kedua, Mas Toto memberikan jawaban agar tulisan yang sudah terkumpul untuk dibukukan, dikirimkan kepada penerbit untuk diterbitkan. Sebagai penulis pemula tidak harus diterbitkan oleh penerbit besar. Carilah penerbit lokal. Pertanyaan ketiga dijawab oleh Pak Firman, menurutnya bahwa tidak ada paradoks antara esai populer dan esai akademik. Kita bisa memilih salah satu di antara keduanya untuk berkreasi menulis esai.  

Setela melewati sesi tanya jawab, kami bertiga (para penyanya) dipanggil naik panggung untuk mendapatkan hadiah berupa buku. Judul buku yang saya dapatkan adalah sebuah bunga rampai, Menuju Norma(l) Baru karya Fatah Hasan dkk.  Dan setelah itu saya mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan testimoni yang direkam video oleh fotografer. Mau tahu testimoninya? Tunggu saja hasil dokumentasinya yang akan dibagika panitia penyelenggara.   

Serang, Ahad, 06 Oktober 2024

___________

Penulis 

Najullah, lahir di kampung yang tidak mengenal malam yaitu Kampung Siang, Desa Pagenjahan, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang 41 tahun silam tepatnya tgl. 06 Maret 1983. Bekerja sebagai tenaga pengajar di pondok pesantren Darussalam Pipitan sejak tahun 2018. Saat ini sedang mengemban amanah sebagai kepala SMA IT Darussalam Pipitan. Pernah punya karya satu judul buku Esai-Esai Keagamaan yang diterbitkan oleh Penerbit #Komentar, Pontang, Serang. Buku tersebut tidak pernah beredar karena hanya dicetak satu eksemplar saja, sampai saat ini masih tersimpan rapi di rak buku sebagai koleksi. Tidak suka menulis, tapi sekali menulis pernah terbit di harian Fajar Banten tahun 2002 (jangan ditanya tanggalnya, sudah lupa) dengan judul “Menakar Sedih dan Bahagia” yang naskahnya entah ada di mana. Dan pada 2024 saat bergabung dengan Klinik Menulis Angkatan #5, kini tulisannya hampir tiap pekan dimuat di Kabar Banten, yakni esai-esai tentang pendidikan. Pernah juga beberapa kali mengisi Buletin Dakwah Kalam, diterbitkan oleh Pondok Pesantren Darussalam Pipitan yang edisi terbitnya suka-suka (jika ada kontribusi tulisan suka terbit, jika tidak ada suka tidak terbit). Punya tempat tinggal bersama anak istrinya di Perumahan Graha Rinjani, Blok E6 No.14, Kelurahan Kiara, Kecamatan Walantaka, Kota Serang. Kontak: 0878-7153-1798.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...

Cerpen Fauzan Murtadho | Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?

Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya. “Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat. Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami. Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup u...

Rumah Bambu

  Puisi Aris Rahman Yusuf (Dimuat di nominaidekarya.com , 15 Okt 2024) Rumah Bambu Saat membersihkan rumah terlintas olehku tentang sebuah ingatan rumah bambu berdinding kata mutiara Di kamar tengah aku pernah tenggelam oleh banjir air mata sebab sebuah kepulangan Setelah kepulangan bayangan lesap kata-kata tergenggam erat dan, ketika lepas ia beraroma mawar Mojokerto, 9 Agustus 2024 Lengkapnya baca DI SINI! Biodata Penulis Aris Rahman Yusuf , pencinta bahasa dan editor lepas. Suka menulis puisi dan nonfiksi. Tulisannya pernah terbit berupa antologi, di media massa, dan di media daring. Dua buku puisinya yang sudah terbit, yaitu Ihwal Kematian Air Mata (buku puisi solo) dan Lelaki Hujan (buku puisi duet). Facebook: Aris Rahman Yusuf dan Instagram: @aryus04.