Langsung ke konten utama

Kurikulum Merdeka: Sudahkah Gurunya Merdeka?

Esai Najullah, S.Pd. I.

(Dimuat di Kabar Banten, Jumat, 16 Agustus 2024)

Pada tahun ajaran 2024/2025 pemerintah sudah mewajibkan seluruh sekolah menggunakan Kurikulum Merdeka (Kumer) melalui diterbitkannya Peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 12 tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.

Di laman Direktorat Sekolah Dasar yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dijelaskan bahwa Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dengan konten yang lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Pengertian ini bagi saya tidak mudah untuk dipahami, saya harus berulang kali membacanya agar masuk ke dalam otak. 

Pemerintah juga menyediakan Platform Merdeka Mengajar (PMM), yaitu satu platform khusus yang bisa dimanfaatkan oleh guru. Berisi banyak hal tentang pengajaran, di antaranya ada fitur pelatihan mandiri, yang bisa dimanfaatkan oleh guru untuk belajar secara mandiri bertujuan agar guru mampu meningkatkan pemahaman mereka dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Ada juga fitur CP/ATP (Capaian Pembelajaran/Alur Tujuan Pembelajaran). Pada fitur ini guru dapat melihat rumusan Capaian Pembelajaran disertai dengan contoh-contoh Alur Tujuan Pembelajaran. Selain itu juga PMM menyediakan Modul Ajar Pembelajaran, Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), dan Asesmen Pembelajaran, yaitu semua kelengkapan perangkat ajar yang diperlukan oleh guru untuk mengajar. 

Sebagai guru, saya sangat bersyukur dan mengapresiasi pemerintah yang telah meluncurkan PMM. Banyak manfaat yang bisa saya dapatkan melalui aplikasi ini. Namun, kehadiran Kurikulum Merdeka yang menggembirakan ini tidak serta merta disambut baik oleh seluruh guru. Sebagian dari mereka masih ada yang menyikapinya dengan rasa apatis dan apriori, mereka beralasan “Nanti juga kalau menterinya ganti kurikulumnya ikut diganti”. Terlepas apakah stigma ini mitos atau fakta, nyatanya sudah kadung menjadi hal yang “dimaklumi”.  

Stigma “ganti menteri ganti kurikulum” masih sangat melekat meskipun faktanya tidak seperti itu. Leli Alhapip dalam artikelnya "Apa yang Salah dengan Ganti Menteri Ganti Kurikulum" di kompas.id (11 Januari 2022) menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah pemerintahan Indonesia telah mengganti kurikulum hanya sebanyak 10 kali padahal negara Indonesia sudah memiliki 44 kabinet pemerintahan dan 34 menteri pendidikan yang berbeda. Artinya stigma “ganti menteri, ganti kurikulum” hanya mitos belaka, buktinya tidak setiap pergantian menteri ada pergantian kurikulum. 

Stigma “ganti menteri, ganti kurikulum” mulai ramai muncul ketika masa pemerintahan SBY jilid I. Pada waktu itu pemerintah mengganti Kurikulum 1994 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK 2004) yang dua tahun kemudian diubah namanya menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006). Tujuh tahun kemudian pemerintah menggantinya dengan nama Kurikulum 2013, hingga yang mutakhir saat ini dengan sebutan Kurikulum Merdeka yang sudah dirilis sejak tahun 2022.  

Sebagai pegiat pendidikan, saya sering dipahamkan bahwa perubahan kurikulum adalah satu keniscayaan. Salah satunya yang disampaikan oleh Dr. Itje Chodijah seorang pelatih guru dan praktisi pendidikan, dalam satu video di PMM yang terdapat pada Materi Modul 1 tentang ”Mengapa Kurikulum Perlu Diubah?” dijelaskan bahwa perubahan kurikulum adalah satu keniscayaan agar dunia pendidikan kita tidak ketinggalan, bisa mengikuti dan mengimbangi perubahan dunia secara global. 

Sampai saat ini saya masih husnudzon bahwa perubahan kurikulum adalah satu keharusan tuntutan zaman bukan semata karena ganti menteri. Saya berusaha menghadirkan keyakinan ini di dalam otak agar tidak su’udzon dengan persepsi pribadi saya yang mengatakan bahwa ada dominasi kepentingan golongan tertentu yang mencari ”duit” dari projek perubahan kurikulum. 

Selain perasaan apatis dan apriori, ada pula alasan lain yaitu seperti yang diutarakan oleh salah seorang guru, sebut saja Bu Murni (54), seorang guru sekolah swasta di Kota Serang, mengaku belum bisa menggunakan aplikasi PMM karena gaptek. Lain halnya dengan Pak Mukhlis (43), guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, mengaku belum memanfaatkan aplikasi PMM karena tidak punya waktu. Setelah pulang mengajar, ia berjualan mi ayam sampai malam.

Kasus di atas hanya sebagian contoh kecil realitas kondisi guru yang masih terbelenggu keadaan, yaitu keterbatasan kemampuan menggunakan alat teknologi dan terbelenggu faktor ekonomi.  Hal ini memang masih menjadi kendala besar dalam dunia pendidikan di negara kita. Jika mayoritas guru yang terkendala keterbatasan kemampuan menggunakan teknologi mayoritas adalah guru kawakan yang berusia di atas 50 tahun, maka guru yang masih terbelenggu faktor ekonomi adalah mayoritas guru yang masih berstatus honorer yang mengajar di sekolah negeri, terlebih lagi guru yang mengajar di sekolah swasta. 

Meskipun pemerintah sudah menyelenggarakan program pengangkatan guru honorer menjadi ASN P3K dan menggulirkan program sertifikasi guru yang sudah berhasil membuat angka indeks kebahagiaan bangsa ini mengalami kenaikan 0,80 dari dari 70,69 menjadi 71,49 tidak serta-merta membuat semua guru menjadi “merdeka” dari belenggu ekonomi. Karena faktanya masih banyak nasib guru yang “mengenaskan” mendapatkan gaji kurang dari lima ratus ribu rupiah per bulan. Melansir dari data resmi KemenPAN-RB menyebutkan setidaknya di bulan Februari 2024 masih terdapat 731.524 guru honorer, data ini belum termasuk guru honorer yang mendapat gaji dari dana BOS.  

Jika masalah “klasik” ini, keterbatasan kemampuan teknologi dan belenggu ekonomi ini masih terus “dibiarkan”, apa pun kurikulumnya tidak akan mampu mengubah keterpurukan kondisi dunia pendidikan. Justru keadaan ini akan menjadikan pendidikan kita semakin terpuruk. Dan kita akan semakin jauh tertinggal dengan negara-negara lain yang lebih maju. 

Memang betul, mengajar itu harus karena panggilan jiwa, motivasi inilah yang akan  menjadikan seorang guru selalu diingat karena kebaikannya, guru yang ikhlas akan disegani dan dihormati, guru yang menguasai kompetensi mata pelajaran serta dapat menyampaikannya dengan metode yang tepat bisa membuat murid mencintai pelajarannya. Digaji kecil atau besar jika motivasinya karena panggilan jiwa maka tidak akan mempengaruhi semangat mengajarnya. Namun, apakah layak seorang guru yang tugasnya sangat mulia itu kita perlakukan dengan tidak manusiawi?  Maka mari kita manusiakan guru, jangan memandang statusnya, ASN atau honorer karena guru adalah guru yang harus kita angkat derajatnya dan kita hormati profesinya. Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus harusnya menjadi momen ”kemerdekaan” untuk guru honorer, bukan hanya kurikulumnya saja yang merdeka, tapi kehidupan mereka juga harus merdeka dari belenggu kemiskinan.

Serang, 12 Agustus 2024

_______

Penulis

Najullah, S.Pd.I., guru di SMAIT Darussalam Pipitan. Peserta Klinik Menulis Angkatan #5.



Kembali ke BERANDA 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Esai di Rumah Dunia

Oleh Najullah Pada Minggu, 6 Oktober 2024, Rumah Dunia menggelar Workshop Menulis Esai untuk pegiat literasi se-Kota Serang dengan tema "Praktik Baik Pegiat Literasi Kota Serang", bertempat di Auditorium Rumah Dunia Kota Serang. Saya menjadi salah satu peserta workshop mewakili komunitas Klinik Menulis binaan Kang Encep Abdullah yang berada di Kec. Walantaka, Kota Serang. Adapun yang tampil sebagai narasumber adalah Toto ST Radik dan Firman Venayaksa atau Firman Hadiansyah. Diskusi ini dimoderatori oleh Fazri. Salah satu peserta, Mela, didaulat sebagai perwakilan peserta untuk menerima penyematan tanda peserta yang diserahkan oleh Presiden Rumah Dunia, Abdul Salam. Mela adalah salah satu pegiat literasi, anggota Klinik Menulis.  Toto ST Radik, namanya sudah sangat familiar, beliau adalah penulis dan penyair kawakan kelahiran Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Nama besarnya sebagai penyair sudah malang melintang di dunia literasi. Kabar terbaru bahwa beli...

Syarat dan Aturan Main Klinik Menulis

  ATURAN MAIN DI GRUP WA KLINIK MENULIS  1. Peserta tidak dibatasi usia, siap jiwa-raga, dan harus istikamah mengikuti kelas menulis ini. 2. Peserta mendaftar dan memilih salah satu jenis karya yang akan ditulis: puisi/cerpen/esai. (Formulir pendaftaran klik DI SINI! ) 3. Kelas menulis akan berlangsung selama 3 bulan (2 bulan proses menulis dan diskusi di WA, 1 bulan persiapan penerbitan buku) -- awal dimulai diskusi kelas menulis bisa dicek di formulir pendaftaran. 4. Peserta WAJIB memosting karya tulis sesuai jadwal yang ditentukan dan sesuai jenis tulisan yang dipilih ( contoh jadwal terlampir ). 5. Ketentuan: puisi (3—5 judul, minimal 10 baris, font TNR 12), cerpen/esai (3—5 halaman A4, font TNR 12, spasi 1,5) diketik dalam format Ms. Word. 6. Setiap tulisan akan diarahkan ke genre dan aturan main tulisan di media massa.  7. Tulis biodata singkat di setiap akhir tulisan yang dikirim (juga foto diri dan kontak HP). 8. Pengiriman karya ke grup Klinik Menulis setiap hari...

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...