Langsung ke konten utama

Sekolah Swasta, Jangan Mau Jual Murah!

Esai Najullah, S.Pd.I.

(Tulisan ini dimuat di Kabar Banten, 7 Agustus 2024)

Dalam dunia pendidikan, terdapat perbedaan yang mencolok antara sekolah swasta dengan sekolah negeri. Secara kasat mata perbedaan itu nampak jelas terlihat. Dari sisi jumlah murid, sekolah negeri mempunyai lebih banyak murid daripada sekolah swasta. Dari sisi sarana prasarana dan fasilitas, sekolah negeri pasti lebih unggul. Dari sisi tenaga pengajar, rata-rata guru sekolah negeri berstatus ASN, sementara guru sekolah swasta hanya honorer swasta yang kisaran digaji di bawah 500 ribu per bulan. Lantas bagaimana dari sisi kualitas? Jawabannya pasti bisa ditebak, tentu sekolah negeri. Meskipun demikian, tidak semua sekolah swasta seperti itu, ada juga sekolah swasta yang kualitasnya bagus, bahkan di beberapa daerah ada juga sekolah swasta yang mendominasi kualitasnya daripada sekolah negeri. 

Rata-rata sekolah swasta yang ada, kondisinya sangat memprihatinkan. Jangankan untuk meningkatkan kualitas pendidikannya, untuk bertahan agar tidak bangkrut pun sudah pungah-pangeh hingga tidak sedikit yang harus gulung tikar. Kondisi seperti itu sangat memengaruhi animo masyarakat. Mereka lebih tertarik menyekolahkan anaknya di sekolah negeri ketimbang di sekolah swasta. 

Salah satu faktor penting yang menyebabkan bangkrutnya sekolah swasta adalah minimnya pendanaan. Sekolah swasta menjadikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai satu-satunya sumber dana untuk operasional sekolahnya termasuk untuk menggaji guru-gurunya. Berdasarkan pengalaman saya menjadi guru honorer yayasan mendapatkan gaji berkisar antara 300 s.d. 500 ribu per bulan. Tentu angka ini sangat tidak manusiawi untuk disebut sebagai gaji seorang guru. 

Lantas kenapa sekolah swasta yang pungah-pangeh tersebut masih tetap mau bertahan? Tidak sederhana untuk membahas dan menyimpulkan masalah ini, perlu kajian yang sangat dalam. Ada banyak hal yang perlu dipahami tentang eksistensi sekolah swasta. Ada faktor ideologis, historis, dan kearifan lokal yang berperan di balik layar keberadaan sekolah swasta. Hal ini juga yang membuat pemerintah sepertinya merasa dilema dengan kondisi sekolah swasta. 

Pada setiap awal tahun ajaran baru selalu saja terjadi “keributan” tentang sekolah negeri yang “membabi buta” menerima sebanyak-banyaknya murid. Hal ini menjadikan sekolah-sekolah swasta merasa gundah gulana karena sekolah negeri diduga tidak komitmen dengan regulasi yang mengatur batasan rombongan belajar (rombel) yang sudah di atur oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan. Jika sekolah negeri komitmen dengan regulasi tentang batasan rombel maka sekolah swasta pasti kebagian murid, sekolah swasta pasti mendapatkan limpahan dari siswa yang tidak diterima di sekolah negeri, begitulah yang dikeluhkan beberapa kawan saya sesama pengelola sekolah swasta.  

Apakah salah sekolah negeri menerima murid sebanyak-banyaknya? Jika ada sekolah negeri yang diketahui secara nyata-nyata melanggar regulasi yang mengatur batasan jumlah murid, hayuk kita ”teriaki” ramai-ramai bahwa sekolah itu salah, viralkan sekolah negeri yang melanggar aturan tersebut biar ditindak oleh yang berwajib, seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa kawan kepala sekolah SMP swasta di Kota Serang yang tergabung dalam organisasi Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FOKKS), mereka berjuang untuk mencari keadilan, beraudensi dengan pimpinan daerah, anggota DPRD bahkan beraudensi dengan ombudsman. Ada hasilnya? Mereka masih proses berjuang, jangan ditanya hasilnya sekarang, insyaallah, kalaupun tidak ada hasil sekarang mungkin nanti anak cucu kita yang akan menikmatinya.

Masalahnya, apa iya sekolah swasta tidak kebagian murid dikarenakan sekolah negeri terlalu kemaruk menerima murid? Menurut data yang ditampilkan di portal data Kemendibudristek bahwa di Provinsi Banten pada tahun ajaran 2023/2024 hanya 34,56% siswa yang melanjutkan ke tingkat SMP dan 34,61% siswa yang melanjutkan ke tingkat SMA. Artinya masih banyak siswa lulusan SD dan SMP yang tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi atau putus sekolah. Sekolah swasta harusnya lebih aktif merekrut anak-anak yang putus sekolah tenimbang meributkan kekemarukan sekolah negeri, ujar salah seorang pengawas SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.  

Faktor lain minimnya dana pendidikan sekolah swasta adalah para pengelola sekolah swasta lebih mengedapankan jiwa sosial. Hal ini tidak terlepas dari aspek kedekatan dengan masyarakat baik dekat secara emosional maupun historis. Pada era tahun ’80-an, contohnya seperti Yayasan Darussalam Pipitan, menerima bentuk iuran dana pendidikan selain uang. Pada masa itu banyak wali murid yang menggunakan sayur, beras, dan sejenisnya untuk iuran pendidikan. Keterbukaan lembaga pendidikan swasta menerima selain uang sebagai iuran dana pendidikan pada saat itu menunjukkan bahwa biaya pendidikan itu harus terjangkau oleh masyarakat. Inilah warisan leluhur yang masih melekat sampai sekarang. Para pengelola pendidikan swasta belum berani menarik iuran mahal karena jiwa sosial yang terlalu dominan.  

Menurut hemat saya, memiliki jiwa sosial adalah sebuah kemuliaan. Sungguh beruntung bagi kita yang diwarisi para leluhur dengan sifat mulia seperti itu. Namun, kita juga perlu memahami bahwa kondisi “alam raya” ini sudah berubah. Mungkin pada era tahun ’80-an, cara untuk mengajak orang agar mau bersekolah, ya dengan cara seperti itu dan terbukti efektif. Hari ini pemerintah kita sudah mengambil peran tersebut, menggratiskan biaya pendidikan untuk masyarkat. Biarkanlah itu menjadi tanggung jawab pemerintah karena itu adalah amanat konstitusi. 

Adapun sekolah swasta yang tetap mau bertahan dengan jiwa sosialnya sebaiknya mendirikan lembaga sosial saja agar bisa berjalan seirama dengan program pemerintah. Jikapun masih mempertahankan lembaga pendidikan maka harus disadari bahwa bersaing dengan sekolah negeri itu berat, kamu tidak akan kuat, biar mereka saja. 

Sekolah swasta mari move on! Sampai saat ini pemerintah masih memberikan keistimewaan khusus kepada sekolah swasta yang tidak diberikan kepada sekolah negeri, yaitu masih diperbolehkan mengambil iuran pendidikan dari wali murid, lain halnya dengan sekolah negeri dilarang mengambil iuran dari wali murid. Menurut saya ini adalah satu kesempatan yang baik yang bisa dimanfaatkan oleh sekolah swasta untuk menjadikan sekolahnya lebih baik dan bermartabat. Menjadi lebih baik karena dengan adanya pendanaan yang terukur akan sebanding lurus dengan kwalitas pendidikan. Dan menjadi bermartabat karena tidak akan ada lagi sekolah swasta yang “mengemis-ngemis” minta limpahan siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. 

Jika melihat kondisi sebagian masyarakat kita, ada kecendrungan lebih memilih yang berbayar asalkan berkualitas daripada yang ”gratisan”, tapi kurang berkualitas. Maka masyarakat model inilah yang mestinya menjadi segmen pasar sekolah swasta. Beberapa sekolah swasta yang ada di Banten, sebut saja Al-Azhar, Al-Izzah, dan Nurul Fikri, mereka menerapkan biaya pendidikan tidak murah kepada wali murid. Biaya masuknya saja bisa mencapai angka puluhan juta rupiah. Meskipun demikian, mereka tidak pernah kehilangan peminat, justru setiap tahun selalu ramai yang antri untuk mendaftar. Begitu juga dengan sekolah-sekolah yang berbasis pondok pesantren yang memiliki segmen pasarnya sendiri yang tidak terpengaruh dengan kekemarukan sekolah negeri.

Polarisasi segmen pasar sekolah swasta dan negeri hari ini sedang berlangsung, sekolah negeri punya segmen pasar yang jelas, yaitu masyarakat yang ingin mendapatkan pendidikan ”gratisan” di sekolah yang bagus, sudah pasti segmen ini paling diminati oleh mayoritas masyarakat. Sementara sekolah swasta mayoritas kurang diminati karena terkesan kurang berkualitas. Saya tidak sedang memberikan pilihan apakah mau memilih sekolah swasta atau negeri, tapi mengajak kepada para pengelola sekolah swasta bahwa sekolah swasta punya potensi besar untuk berkembang maju seperti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang saya sebutkan di atas. Mau pilih sekolah swasta atau negeri biarlah masyarakat yang menentukan. Bagi yang ingin ”gratisan”, silahkan ke sekolah negeri, karena seharusnya swasta tidak menjual murah pendidikan berkualitas.

______

Penulis

Najullah, S.Pd.I., pendidik di salah satu sekolah swasta. Peserta Klinik Menulis Angkatan #5.



Kembali ke BERANDA 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...

Cerpen Fauzan Murtadho | Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?

Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya. “Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat. Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami. Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup u...

Rumah Bambu

  Puisi Aris Rahman Yusuf (Dimuat di nominaidekarya.com , 15 Okt 2024) Rumah Bambu Saat membersihkan rumah terlintas olehku tentang sebuah ingatan rumah bambu berdinding kata mutiara Di kamar tengah aku pernah tenggelam oleh banjir air mata sebab sebuah kepulangan Setelah kepulangan bayangan lesap kata-kata tergenggam erat dan, ketika lepas ia beraroma mawar Mojokerto, 9 Agustus 2024 Lengkapnya baca DI SINI! Biodata Penulis Aris Rahman Yusuf , pencinta bahasa dan editor lepas. Suka menulis puisi dan nonfiksi. Tulisannya pernah terbit berupa antologi, di media massa, dan di media daring. Dua buku puisinya yang sudah terbit, yaitu Ihwal Kematian Air Mata (buku puisi solo) dan Lelaki Hujan (buku puisi duet). Facebook: Aris Rahman Yusuf dan Instagram: @aryus04.