Langsung ke konten utama

Kurikulum Merdeka Tidak Menjadikan Siswa Bertakwa?

 Esai Najullah, S.Pd.I.

(Dimuat di Kabar Banten, 5 September 2024)



Salah seorang paman memberikan komentar di grup WA terhadap tulisan saya yang berjudul “Kurikulum Merdeka, Sudahkan Gurunya Merdeka?” yang dimuat di koran harian umum Kabar Banten, 16 Agustus 2024. “Kurikulum Merdeka tidak membuat siswa menjadi takwa”, begitulah komentar yang beliau sampaikan. 

Meskipun saya sering mendengar selentingan negatif tentang Kurikulum Merdeka, saya tidak pernah menghiraukannya. Menurut saya lahirnya selentingan negatif itu karena didominasi perasaan apatis terhadap kurikulum yang diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia yang dianggap sering gonta-ganti. Saya sudah menjelaskan panjang lebar tentang masalah ini pada artikel tersebut di atas. 

Tapi, tidak dengan komentar yang satu ini. Bagi saya ini sangat menarik untuk diulas. Alasanya bukan hanya karena yang memberikan komentar adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang sudah lebih dari 30 tahun mengajar di salah satu SMP Negeri di daerah Sumedang. Tapi isi yang disampaikannya sangat krusial dan sensitif. Sangat krusial karena takwa adalah hal penting yang harus dimiliki oleh setiap orang yang beragama Islam, berkaitan dengan baik atau buruknya karakter seseorang, baik di hadapan Allah swt. maupun di hadapan sesama. Dikatakan sensitif karena masalah ini menyangkut masalah keyakinan dalam beragama. Ajaran Islam mengajarkan bahwa sesuatu yang tidak ada faedahnya wajib untuk ditinggalkan 

“Sebagian dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadis Riwayat Imam Turmudzi No. 1489) 

Pun dengan Kurikulum Merdeka. Jika dalam implementasinya dianggap tidak menjadikan siswa bertakwa maka tidak ada faedahnya dan harus ditinggalkan. Inilah yang saya maksud bahwa hal ini adalah masalah sensitif. Tapi tenang… faktanya tidak sesensitif itu kok. Yang demikian itu hanya penerawangan saya pribadi yang melanglang buana untuk mencoba menemukan arah tujuan pemikiran paman yang memberikan komentar di atas. Penulis juga tidak tidak mau terburu-buru menyimpulkan bahwa Kurikulum Merdeka tidak ada manfaatnya. Asal tahu saja bahwa penulis juga adalah seorang guru yang mencoba mengiplementasikan Kurikulum Merdeka dalam mengajar.

Sebagai guru yang sedang mencoba mengimplementasikan Kurikulum Merdeka, saya merasa tertohok dengan komentar di atas. Di alam bawah sadar, pikiran saya langsung bermunculan beribu-ribu tanda tanya, apa iya Kurikulum Merdeka tidak bisa membuat siswa menjadi takwa? Pertanyaan yang mengganggu sekali. Bukankah penyusunan Kurikulum Merdeka dilakukan oleh tim spesialis yang ahli di bidangnya, pastinya sudah melewati berbagai ujicoba yang ketat untuk sampai ditetapkan menjadi kurikulum nasional? Masak para perancang itu tidak memikirkan konten takwa pada implementasi Kurikulum Merdeka? Bukankah negara kita ini berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa? Itulah sederet pertanyaan besar yang mengganggu pikiran saya.       

Dengan segala keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya mencoba untuk mengukur masalah ini, terlepas jawabannya apakah bisa atau tidak Kurikulum Merdeka membuat siswa bertakwa, paling tidak saya bisa menemukan jawabannya setelah itu saya bisa tidur mudah-mudahan bisa nyenyak. Yaitu dengan cara menimbangnya dengan ukuran Ilahiyah (firman Tuhan) yaitu Al-Qur’an kerena ajaran takwa adalah ajaran Tuhan. Berikut firman Allah swt. tentang takwa: 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”. (QS Al-Baqarah [2]:183)  

Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan untuk orang-orang yang beriman. Puasa mempunyai tujuan agar menjadikan manusia bertakwa kepada Allah swt. Secara eksplisit, ayat ini mengajarkan bahwa berpuasa adalah salah satu cara agar menjadi orang yang bertakwa. Jadi menurut ayat ini, jika guru mau menjadikan muridnya bertakwa maka ajarilah mereka berpuasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah, Adapun secara implisit, menurut penceramah K.H. Zaenudin MZ pada salah satu petikan ceramahnya yang sempat tenar pada kisaran tahun 1996, ditayangkan berulang-ulang di salah satu stasiun TV swasta, persembahan/iklan dari produk minuman pereda panas dalam, beliau menjelaskan bahwa makna inti berpusa adalah agar kita mampu menahan dan mengendalikan diri dari hawa nafsu. Maka jelaslah bahwa mengendalikan hawa nafsu adalah jalan untuk menjadikan kita bertakwa. Maka sebuah kurikulum jika ingin menghasilkan siswa bertakwa harus mencantumkan konten pengendalian hawa nafsu. Apakah di dalam implementasi Kurikulum Merdeka konten ini ada?

Di dalam ayat yang lain Allah swt berfirman: 

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]:21)

Allah swt. menjelaskan bahwa jalan menuju takwa adalah menyembah Allah atau beribadah hanya kepada Allah swt .semata yang telah menciptakan kita. Jika kita melihat pengertian ibadah maka kita akan mendapatkan banyak sekali yang penjelasan tentang hal tersebut. Salah satunya yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin di dalam kitabnya yang berjudul Al-Qoul Al-Mufid. Bahwa Ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu di antara dua perkara, (1) Ta’abbud, yaitu penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Zat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala), (2) Muta’abbad bihi, yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir). 

Di antara kita mungkin ada yang memahami bahwa “menyembah Allah” dan “beribadah kepada Allah” adalah dua hal yang berbeda. Agar mudah dipahami saya ilustrasikan dengan contoh berikut “Saya Muslim, saya menyembah Allah”, pada kalimat ini memberikan pemahaman tentang keyakinan seorang Muslim bahwa yang ia sembah adalah Allah swt. Keyakinan ini sifatnya melekat setiap saat tanpa terbatas waktu selama dia Muslim. Bandingkan dengan kalimat berikut, “Saya Muslim, saya beribadah kepada Allah”, pada kalimat ini kita dipahamkan bahwa ibadah kepada Allah bersifat temporer, seperti salat. Ibadah salat tidak dilakukan setiap saat karena waktu pelaksanaan salat sudah ada aturannya, begitu juga dengan ibadah puasa dan ibadah haji.

Sebagai Muslim kita dituntut untuk beribadah kepada Allah swt. setiap saat seiring sejalan dengan keyakinan kita bahwa Allah swt adalah Tuhan yang kita sembah. Bentuk ibadah yang bisa dilakukan setiap saat bisa bermacam-macam. Bekerja untuk mencari nafkah adalah ibadah. Istirahat untuk memulihkan badan agar siap bekerja lagi adalah ibadah. Bercengkerama dengan keluarga juga ibadah, bahkan masuk toilet pun jika dilakukan sesuai dengan aturan fikih Islam bisa disebut ibadah. 

Pada aplikasinya pemahaman “ibadah setiap saat” tidak harus melulu melakukan salat setiap saat atau puasa setiap hari karena ibadah atau puasa dalam agama Islam sudah ada ketentuan waktunya. Agar ibadah kita kepada Allah swt. tidak bersifat temporer maka saya punya keyakinan bahwa ayat di atas yang bermakna “Hai manusia sembahlah Tuhanmu …” harus dipahami dengan kalimat “Hai manusia ibadahilah Tuhanmu …”. Maka dengan memahami diksi yang kedua kita akan mendapatkan pemahaman bahwa ibadah kepada Allah swt. tidak bersifat temporer, bisa seiring sejalan dengan melekatnya keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan yang harus disembah setiap saat. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw bersabda, diriwayatkan dari Abu Dzar R.A. 

“Bertakwalah di mana pun kalian berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik maka (pahala) perbuatan baik itu akan menghapus (dosa) perbuatan buruk, dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Tirmidzi, hadis ke-18, kitab Hadis Arbain)

Dua ayat inilah yang penulis gunakan untuk mengukur apakah Kurikulum Merdeka bisa menjadikan siswa bertakwa. Ayat pertama mengharuskan adanya konten pengendalian hawa nafsu dan ayat kedua mewajibkan adanya ajakan untuk beribadah kepada Allah setiap saat. Kedua hal ini penulis sebut sebagai “jalan menuju takwa”. Lalu, mari kita buktikan apakah jalan menuju takwa ini sudah diakomodir di dalam konsep Kurikulum Merdeka? Jika ada, artinya Kurikulum Merdeka bisa membuat siswa bertakwa jika tidak? Waallahualam.

Di dalam implementasi Kurikulum Merdeka, terdapat istilah Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Berdasarkan Kemendikbudristek No.56/M/2022, P5 dirancang untuk menguatkan upaya pencapain kompetensi dan sebagai upaya agar siswa memiliki karakter sesuai dengan profil pelajar Pancasila. Dalam melakukan projek, siswa diberikan pilihan melaksanakannya sesuai dengan tema yang sudah disiapkan, yaitu (1) Gaya Hidup berkelanjutan, (2) Kearifan lokal, 3) Bhineka Tunggal Ika, (4) Bangunlah jiwa raganya, (5) Suara demokrasi, (6) Rekayasa dan teknologi, dan (7) Kewirausahaan. Adapun profil pelajar Pancasila yang hendak diwujudkan adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri dan bernalar kritis.

Pada penjelasan di atas dapat ditemukan bahwa takwa dan berakhlak mulia adalah salah dua dari tujun diterapkannya Kurikulum Merdeka, namun dengan bagaimana jalannya untuk meraih takwa tidak dijelaskan secara rinci. Konsep Al-Qur'an tentang jalan takwa mungkin bisa diaplikasikan melalui mata pelajaran budi pekerti yang di dalamnya ada dua kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Tapi mengingat begitu terbatasnya alokasi jam pelajaran untuk kedua mata pelajaran tersebut rasa-rasanya sulit sekali untuk mengimplementasikan konsep jalan takwa ini pada Kurikulum Merdeka. Sampai saat ini penulis masih merasa sangat kesulitan mencari kesesuaian antara konsep Al-Qur'an dengan konsep Kurikulum Merdeka tentang takwa.  


_______

Penulis

Najullah, S.Pd.I., guru di SMAIT Darussalam Pipitan. Peserta Klinik Menulis Angkatan #5.



Kembali ke BERANDA 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...

Cerpen Fauzan Murtadho | Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?

Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya. “Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat. Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami. Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup u...

Rumah Bambu

  Puisi Aris Rahman Yusuf (Dimuat di nominaidekarya.com , 15 Okt 2024) Rumah Bambu Saat membersihkan rumah terlintas olehku tentang sebuah ingatan rumah bambu berdinding kata mutiara Di kamar tengah aku pernah tenggelam oleh banjir air mata sebab sebuah kepulangan Setelah kepulangan bayangan lesap kata-kata tergenggam erat dan, ketika lepas ia beraroma mawar Mojokerto, 9 Agustus 2024 Lengkapnya baca DI SINI! Biodata Penulis Aris Rahman Yusuf , pencinta bahasa dan editor lepas. Suka menulis puisi dan nonfiksi. Tulisannya pernah terbit berupa antologi, di media massa, dan di media daring. Dua buku puisinya yang sudah terbit, yaitu Ihwal Kematian Air Mata (buku puisi solo) dan Lelaki Hujan (buku puisi duet). Facebook: Aris Rahman Yusuf dan Instagram: @aryus04.