Esai Najullah
(Dimuat di Kabar Banten, 29 Agustus 2024)
Keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren di Indonesia tidak lepas dari pengaruh penyebaran agama Islam oleh wali songo yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan. Dari masa ke masa, keberadaannya sangat vital sebagai sumber penyebaran syiar agama Islam. Seiring berjalannya waktu, bermunculan beraneka ragam corak pondok pesantren. Setidaknya ada tiga model pondok pesantren yang diklasifikasikan oleh Kementerian Agama, yaitu pondok pesantren modern, pondok pesantren salafi, dan pondok pesantren setengah salafi, setengah modern.
Kontribusi pondok pesantren terhadap negeri ini tidak bisa dianggap enteng. Pada zaman penjajahan, para kiai memobilisasi santrinya untuk berjihad melawan penjajah sampai Indonesia merdeka. Maka tidak berlebihan jika dikatakan “Indonesia lahir karena ada pondok pesantren”. Hingga sampai saat ini pondok pesantren masih berkontribusi mengisi kemerdekaan. Alumni pondok pesantren banyak yang berkiprah di berbagai bidang pekerjaan. Lulusan pondok pesantren tidak serta merta harus menjadi kiai, tapi yang pasti mereka sukses menjadi penebar manfaat di bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi pejabat negara, ada yang berkiprah di dunia usaha, dunia pendidikan bahkan dunia hiburan.
Pondok Pesantren modern biasanya menggunakan kurikulum mandiri atau memadukan kurikulum pesantren dengan kurikulum pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kesehariaanya santri pondok modern senantiasa cas-cis-cus bercakap menggunakan bahasa Arab atau Inggris. Pondok pesantren salafi tidak menggunakan kurikulum pemerintah. Pembelajaran mengedepankan penguasaan ilmu nahu-sharaf yang berbasis kitab kuning dengan menggunakan metode tradisional seperti sorogan.
Penulis mempunyai penilaian sendiri terkait klasifikasi pondok pesantren modern atau salafi. Bisa dibedakan dari cara maknanya. Tapi, ini hanya joks yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu jika di pondok, santri masak sendiri, membawa bekal beras dari rumah, artinya itu pondok salafi. Jika santri makannya di dapur umum yang sudah ada petugas masaknya, itu artinya pondok modern. Jangan dianggap serius, ini hanya penilaian subjektif penulis yang bisa benar bisa juga tidak salah. Yang pasti fakta hari ini klasifikasi pondok pesantren sudah semakin tidak jelas karena banyak bermunculannya model-model pondok pesantren. Mungkin ini yang dimaksud Kementerian Agama tentang klasifikasi yang ketiga, yaitu setengah salafi, setengah modern.
Pesona pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan berhasil menarik hati masyarakat, dahulu orang yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren hanya dari golongan menengah ke bawah saja, adapun kalangan menengah ke atas menganggap bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang “ketinggalan zaman”. Namun, seiring berjalannya waktu, pondok pesantren mengalami berbagai perubahan konsep yang melahirkan berbagai ragam corak model pondok pesantren. Sebagian pondok pesantren ada yang bermetamorfosis agar bisa menyesuaikan dengan selera masyarakat tanpa menghilangkan substansi nilai-nilai Islam. Perubahan ini membawa dampak besar terhadap animo masyarakat, pondok pesantren tidak lagi dianggap sebagai lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman, sehingga banyak dari kalangan menengah ke atas mulai tertarik.
Sepintas, kita dapat menilai bahwa meningkatnya animo masyarakat menitipkan anaknya di pondok pesantren merupakan tren yang sangat baik. Hal ini kita anggap menjadi indikator bertumbuhnya kesadaran orang tua tentang pentingnya pendidikan agama (Islam) bagi anaknya. Pandangan ini tentunya tidak salah. Namun, ada sisi-sisi lain yang perlu penulis jelaskan tentang aneka ragam motivasi orang tua menitipkan anaknya di pondok. Hal ini penulis kemukakan dalam rangka untuk mengukur apakah besarnya animo masyarakat menitipkan anaknya di pondok berbanding lurus dengan meningkatnya kesadaran pendidikan agama (Islam)?
Motivasi orang tua menitipkan anaknya di pondok, ada yang betul-betul didasari dengan kesadaran akan pentingnya belajar agama Islam. Biasanya orang tua seperti ini adalah orang tua yang dahulunya pernah mondok atau tidak pernah mondok, tapi mendapatkan hidayah. Mohon maaf saya tidak mengatakan bahwa orang tua yang tidak memasukan anaknya ke pondok adalah orang tua yang tidak mendapatkan hidayah. Karena faktanya banyak juga anak yang tidak mondok, tapi bisa menjadi ustaz atau kiai, begitupun sebaliknya, memondokkan anak tidak menjamin ia menjadi ustaz atau kiai.
Selain hal di atas ada pula orang tua yang memondokkan anaknya karena faktor kesibukan yang membuatnya tidak mampu “mengurus” anaknya. Bagi orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga nyaris tidak punya waktu membersamai anaknya. Mereka memilih pondok pesantren sebagai tempat “penitipan”. Tentunya hal ini sangat menguntungkan pihak orang tua maupun anak. Satu sisi, orang tua tetap bisa bekerja tanpa perlu khawatir dengan kondisi anaknya, di sisi lain, anak bisa belajar dengan tenang di pondok pesantren.
Pada kasus tertentu, ditemukan orang tua yang dalam kondisi rumah tangga sedang bermasalah sehingga mengakibatkan anak menjadi korban karena bapak dan ibunya selalu bertengkar (broken home). Lalu mereka memilih menitipkan anaknya di pondok agar ada yang mengasuh plus-plus (plus bisa belajar). Yang demikian itu pastinya lebih baik daripada si anak tetap tinggal di rumah, bisa jadi akan membuat anak semakin menderita.
Motivasi memondokkan anak yang paling mendominasi orang tua adalah perasaan khawatir terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Khawatir jika anaknya terjerumus kepada pergaulan yang tidak sehat, seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas antara remaja laki-laki dan perempuan yang menjerumus kepada perzinahan, bullying, kekerasan, geng motor, dan sederet perilaku menyimpang lainnya yang menjadi hantu mengerikan. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena pada zaman ini deretan perilaku menyimpang itu sudah bisa disaksikan di sekeliling kita nyaris setiap hari. Mereka menaruh harapan besar terhadap pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif yang dianggap mampu melindungi anak-anaknya dari hal-hal negatif di atas.
Bahkan setiap orang tua mempunyai harapan lebih jauh lagi, yaitu bisa memiliki anak yang saleh dan salihah. Sebagaimana dipahami bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan khas agama Islam. Dengan bimbingan kiai dan para pengasuh pondok para orang tua menaruh harapan besar agar anaknya bisa dibimbing dan diajarkan ilmu-ilmu agama agar mereka bisa menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orang tuanya, masyarakat sekitar, bangsa dan negara.
Meskipun berangkat dari motivasi yang berbeda-beda. Namun, bisa dipastikan para orang tua yang memondokkan anakanya, mempunyai harapan yang sama, yaitu agar anaknya mendapatkan pendidikan yang layak, diajar oleh guru-guru yang berkompeten, memiliki teman pergaulan yang baik, lingkungan yang mendukung pertumbuhan ke arah lebih baik yang terbebas dari pengaruh-pengaruh yang bisa merusak pertumbuhan dan kepribadiannya. Mereka percaya bahwa pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternaftif mampu mewujudkan harapan mulia tersebut.
Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren yang selalu dinamis menjadi bukti bahwa lembaga pendidikan ini sangat diminati masyarakat. Namun akhir-akhir ini dunia pesantren kerap dilanda berbagai peristiwa kelam, seperti kasus pelecehan seksual yang dilakukan pengasuh pesantren terhadap santrinya, bulliying yang dilakukan oleh senior terhadap junior, bahkan ada di antaranya yang sampai memakan korban jiwa. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius kita bersama khususnya pengelola pesantren. Memang, peristiwa kelam itu hanya terjadi pada segelintir kecil pesantren saja bahkan bisa bisa dibilang hanya oknum. Tapi, dengan adanya pemberitaan tersebut, cukup membuat nama baik pesantren menjadi ternista. Ini menjadi ancaman besar pesantren akan kehilangan kepercayaan masyarakat. Sungguh ini adalah musibah besar yang perlu direnungkan.
Kendatipun demikian, tidak menyurutkan animo masyarakat untuk berpaling dari pesantren. Melihat realita yang ada pertumbuhan dan perkembangan pesantren yang selalu dinamis, membuktikan bahwa pesantren tetap dicintai oleh masyarakat. Anugerah dari Allah swt. yang tetap menjaga nama baik pesantren. Sebagai bukti syukur atas anugerah ini seyogianya para pengelola pesantren harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan internal demi menjaga marwah dan nama baik agar kepercayaan masyarakat yang sudah terbina tetap ditingkatkan karena itu adalah amanat. Jika kamu menolong (agama) Allah maka Allah akan memberikan pertolongan kepadamu.
_______
Penulis
Najullah, S.Pd.I., guru di SMAIT Darussalam Pipitan. Peserta Klinik Menulis Angkatan #5.
Kembali ke BERANDA
Komentar
Posting Komentar