Langsung ke konten utama

Penulis yang Kehilangan Isi Otaknya

 


Cerpen Fauzan Murtadho

(Dimuat di Majalah Kandaga Edisi XXVI/Desember/2024)


Entah sejak kapan Dumas kehilangan isi otaknya. Padahal beberapa hari lagi adalah jadwalnya untuk mengirim sebuah naskah pada komunitas menulis yang diikutinya. 

"Dimana hilangnya keresahan-keresahan itu?" gumamnya dalam hati sambil mencari di pekarangan rumahnya.

Satu pekan sebelumnya, Dumas disibukkan oleh pekerjaan kantornya. Atasannya menekannya untuk menyelesaikan semua tugas sebelum pergantian bulan. Akhirnya, Dumas mencoba fokus dan berusaha menyelesaikan sesuai dengan perintah atasannya. 

Tibalah Dumas pada pengujung bulan. Setiap jam, menit bahkan detik waktu sangat berharga baginya. Ia dibayang-bayangi perasaan khawatir tugas yang diberikan itu tidak kunjung selesai pada waktunya. Namun, betapa lega dan senangnya perasaan Dumas ketika telah menyelesaikan tugas kantornya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Kegembiraannya berlipat ganda karena sebentar lagi ia juga akan mendapatkan gaji bulanannya. Perasaan itu bercampur di otak Dumas, menari dalam bayang-bayang mimpi, berselimut bagaikan suami dan istri.

"Tring" suara notifikasi pesan masuk dari ponsel Dumas. Rupanya, itu SMS dari bank.

"Sayangku, hari ini sudah gajian," ucap Dumas kepada istrinya, Siti Ropeah.

"Alhamdulillah," jawab istrinya.

"Tapi, gaji kali ini tidak seperti bulan-bulan sebelumnya," ujar Dumas dengan wajah sedikit lesu. Dumas memperlihatkan isi saldo itu kepada Siti Ropeah.

"Berarti, bulan depan juga segini?" tanya Siti Ropeah kepada Dumas dengan raut wajah resah dan sedikit sedih.

"Seperti yang kamu lihat," ujar Dumas sambil memperlihatkan isi saldo itu lagi kepada istrinya.

"Ya semoga masih ada rezeki dari jalan yang lain," sambung Dumas.

Setelah percakapan itu, Siti Ropeah pergi meninggalkan Dumas dengan berlinangan air mata. Bagaimana tidak? Kebutuhan rumahnya saja sudah cukup memenuhi isi kepalanya, belum lagi anak mereka yang masih berumur satu tahun memerlukan Diapers dan susu formula yang tidak murah harganya. Mereka yang masih hidup bersama di rumah orang tuanya, pasti memiliki beban moral untuk memberikan beberapa lembar rupiah merah walaupun alakadarnya. 

Pikiran Dumas tidak karuan. Isi kepalanya penuh dengan pekerjaannya, perilaku istrinya, memanjakan anaknya, membagi uang gajinya supaya adil dan juga tugas menulisnya.

"Astagfirullah...!" tersentak Dumas ketika mengingat bahwa ia belum menuliskan apa-apa. Benar-benar lupa. Saking banyaknya problematika yang menari dipikirannya. Padahal bisa saja ia menulis disela-sela waktu senggangnya. Memulai dengan membuka buku kemudian menulis, atau bisa juga menulis menggunakan note yang ada di ponsel, atau juga membuka laptop, lalu mulai mengetikkan naskahnya.

Malam itu ia mencoba fokus, menatap monitor laptop yang sudah menyala dengan terang benderang. Satu per satu tombol yang berbaris itu Dumas sentuh dengan sentuhan lembut. Merangkai kata demi kata, menghasilkan sebuah paragraf. Mencoba membuat cerpen bergenre komedi.


Gadis Bisu

Namanya gadis, parasnya cantik dengan rambut panjang yang terurai lembut menyentuh pundaknya. Matanya lentik, memancarkan keindah yang menghiasi wajahnya dan menambah pesona.  Keelokannya menjadi buah bibir di kampung halamannya.


“Tidak menarik!” gerutu Dumas dalam hati. Ia menekan Ctrl + A, kemudian memencet tombol Backspace dengan penuh amarah. Kemudian tertidur dengan layar laptop yang masih menganga.

***

Tiga hari sebelum jadwal Dumas mengirim naskahnya. Ia ditugaskan keluar kota untuk meeting bersama dengan klien kantornya. Sepanjang perjalanan, Dumas memandangi setiap partikel-partikel kecil yang melintas di matanya. Gedung-gedung, pepohonan, pedagang asongan dan sesekali memandangi fuel gauge pada dashboard mobilnya yang kadang timbul dan kadang lenyap, berharap mendapat inspirasi untuknya menulis. Namun, tidak ada satupun ide yang mampir menghampiri otaknya.

“Anda telah sampai di tujuan,” suara ponsel Dumas yang sedang membuka aplikasi Google Maps.

langkah demi langkah Dumas menuju ruangan meeting. Tidak habis-habisnya ia memikirkan bahan untuk ditulis. Bahkan, ketika rapat sudah dimulai, otaknya disibukkan dengan memikirkan ide-ide cemerlang yang berharap bisa ia dapatkan. Waktu istirahat juga begitu. Akhirnya Dumas mencoba membaca beberapa cerpen dari ponselnya: “Dodolitdodolitdodolitbret”, “Misteri Hilangnya Mangga Kek Ringkih”, “Lelaki Ompol” dan beberapa cerpen lainnya ia lahap dalam sekelebat. Mulailah ia membuka note pada layar ponselnya, mencoba menuliskan cerpen bertema thriller.


Suroto, Tetanggaku

Dipikirkan beberapa kali pun hasilnya tetap sama, otakku tidak bisa menolaknya. Suroto, tetanggaku itu selalu membawa cangkulnya setiap pagi, melewati  pekarangan rumahku. Pasalnya, berita yang disiarkan televisi belakangan ini selalu saja tentang pembunuhan. Yang disinyalir pelakunya menggunakan cangkul untuk membunuh korban. Karena bagian tempurung kepalanya terbelah lembut. Aku menaruh prasangka itu kepada Suroto.


“Setelah ini, apa lagi?” gumam Dumas, buntu dengan alur cerita yang dibuatnya. Kemudian ia blok semua tulisannya dan kembali menghapusnya.

***

Satu hari sebelum jadwal Dumas mengirim naskahnya, ia melihat mentor di komunitas menulisnya memosting sebuah esai di status WhatsApp.

“Bukan main!” ujar Dumas dalam hati. Matanya terbelalak, hatinya terhujam dan bulu romanya merinding setelah membaca esai mentornya. Isinya berupa tamparan keras sekaligus motivasi bagi orang-orang yang hanya semangat di awal dalam hal tulis-menulis seperti Dumas ini. Ia merasa tidak terima, akhirnya mencoba mengirim pesan kepada mentornya. Sebut saja namanya Mister Pa.

“Mister Pa, saya merasa tersinggung dengan esai yang Anda ketik!” ujar Dumas dengan emoji marah.

“Masalahmu apa? Saya hanya menyalurkan emosi agar tidak langsung saya arahkan kepada kamu!” balas Mister Pa dengan emoji tunjuk dan kepalan tangan.

“Bukannya saya malas, saya hanya belum menemukan ide yang cocok untuk cerpen pekan ini,” timpal Dumas dengan emoji tepok jidat.

“Alasan! Itu bukan urusan saya. Jangan banyak bacot! Mana janjimu yang sebelum ikut komunitas menulis mau membuat satu cerpen dalam satu pekan? Taik! Dulu kau pernah kirim pesan kepada saya ’Namaku Dumas. Aku bercita-cita pengin jadi penulis’.”

”Ya, semoga setelah selesai di kelas menulis ini, saya masih bisa terus menulis. Walau hanya satu naskah dalam seminggu,” ujar Dumas.

Dua bulan kemudian. Ternyata ini cuma bacot. 

”Jangan macam-macam sama saya, ceritamu yang cuma bacot ini bisa saya tulis, loh,” ujar Mister Pa dengan emoji muntah.

Peperangan mereka terus berlanjut, sampai Mister Pa mengirimkan pesan terakhirnya kepada Dumas.

“Istri saya sudah menyalakan alarm kehidupan alias sewot. Tandanya saya harus lekas bangun dari kasur sebelum dunia hancur lebur!” 

Mister Pa offline.

Dumas masih merasa emosi dengan Mister Pa. Pasalnya, Mister Pa tidak memberi peluang agar pesertanya mendapatkan semangat menulis lagi. Akhirnya Dumas menarik laptopnya yang masih melipat. Membuka lipatannya, kemudian mencoba mengetikkan beberapa kalimat dengan menggebu-gebu.

“Mentor Bangsat!” 


Biodata Penulis

Fauzan Murtadho, lahir di Serang 18 Juni 1998. Telah menempuh Pendidikan S-1 Jurusan Teknik Informatika, ditunjuk sebagai Ketua dalam grup WA Klinik Menulis #5. Bekerja sebagai tenaga pendidik dan kependidikan di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan sejak tahun 2019. Pernah menulis puisi meskipun tidak diterima oleh guru karena dianggap kurang memadai. Tinggal bersama istri, anak, mertua dan adik-adik ipar di Kp. Pipitan RT/RW 004/002 Kel. Pipitan Kec. Walantaka Kota Serang. 


DOWNLOAD PDF MAJALAH DI SINI!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Klinik Menulis

Tentang Klinik Menulis Klinik Menulis merupakan komunitas literasi (WA) yang didirikan oleh Encep Abdullah pada 3 Desember 2016. Sebab-musabab didirikan komunitas ini adalah permintaan banyak pihak di medsos kepada Encep Abdullah. Akhirnya, Encep merenung dan memutuskan membuat grup menulis di WA. Maka, jadilah nama Klinik Menulis, terinspirasi dari grup sebelah, Klinik Bahasa.  Mulanya anggota Klinik Menulis terdiri atas anak muda berusia 17—25 tahun yang berasal dari berbagai daerah: NTB, Aceh, Papua, Cianjur, Bogor, Kalimantan, Banten, dan sebagainya. Memilih peserta anak muda karena mereka tidak sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan biar pekerjaan menulis bisa fokus. Lalu, stigma itu keliru. Ternyata, pelajar dan mahasiswa juga sama-sama sibuk layaknya mereka yang sudah berkeluarga. Kendala mereka sangat klasik: lupa, malas, tidak konsisten menulis. Klinik Menulis sudah mengarsipkan empat buku: Telolet, Puisi, dan  Kerikil Sepanjang Jalan (Angkatan #1, 2017), Nun dan...

Cerpen Fauzan Murtadho | Apakah Kita Benar-Benar Sudah Merdeka?

Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya. “Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat. Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami. Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya. Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup u...

Rumah Bambu

  Puisi Aris Rahman Yusuf (Dimuat di nominaidekarya.com , 15 Okt 2024) Rumah Bambu Saat membersihkan rumah terlintas olehku tentang sebuah ingatan rumah bambu berdinding kata mutiara Di kamar tengah aku pernah tenggelam oleh banjir air mata sebab sebuah kepulangan Setelah kepulangan bayangan lesap kata-kata tergenggam erat dan, ketika lepas ia beraroma mawar Mojokerto, 9 Agustus 2024 Lengkapnya baca DI SINI! Biodata Penulis Aris Rahman Yusuf , pencinta bahasa dan editor lepas. Suka menulis puisi dan nonfiksi. Tulisannya pernah terbit berupa antologi, di media massa, dan di media daring. Dua buku puisinya yang sudah terbit, yaitu Ihwal Kematian Air Mata (buku puisi solo) dan Lelaki Hujan (buku puisi duet). Facebook: Aris Rahman Yusuf dan Instagram: @aryus04.