Matahari telah memancarkan cahayanya. Sinarnya menghangatkanku yang sedang duduk santai di teras rumah. Anakku, yang usianya masih lima tahun menghampiri dan ikut duduk di sampingku. Ia menatap wajahku, dan aku membalas tatapannya. Beberapa kata keluar dari mulut mungilnya.
“Pak, hari ini kita makan, gak?” tanyanya dengan suara lirih dan bibir yang memucat.
Pertanyaan sederhana itu membuat hatiku terenyuh, mengguncang ketenanganku. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Tiga tahun lalu, ibunya — istriku meninggalkan kami.
Ia pergi karena tubuhnya tak kuat lagi menahan lapar. Hipoglikemia dan malnutrisi telah merenggutnya, setelah sekian lama ia memilih mendahulukan kami daripada dirinya sendiri. Ketika kuajak makan bersama, ia selalu tersenyum, menjawab, “Ibu udah makan, Pak,” atau “Bapak duluan saja, Ibu nyusul.” Senyum itu masih jelas tergambar seakan baru kemarin ia mengucapkannya.
Aku menyesal, kenapa dulu aku tidak memaksanya untuk makan bersama kami? Walau porsi makan hanya cukup untuk dua orang. Kenapa aku tidak menarik tangannya sebelum jawaban lain terucap dari mulutnya? Tapi, sudahlah! semua sesal tidak ada guna. Ia sudah berada di keribaan-Nya, dengan berkelimpahan kasih dan makanan, sesuatu yang tidak pernah kuberikan dengan sempurna di dunia.
Sial, aku terhanyut dalam lamunanku hingga tak kusadari air mata ini jatuh membasahi pipi. Aku menarik napas panjang, lalu menatap mata anakku sambil menggenggam pundak kecilnya.
“Bapak ke dapur dulu ya, Nak.” ucapku, suaraku sedikit bergetar.
Ia mengangguk,tersenyum manis. Aku pun beranjak ke dapur, menatap sekeliling dengan hati berbisik.
“Sepertinya aku harus menemui tetangga.”
Kuraih sebuah piring yang berdebu di rak. Perlahan kuusap permukaannya. Dengan hati berat, kubawa piring itu keluar.
Anakku masih duduk termenung di teras rumah. Aku tersenyum tipis menutupi kegundahan.
“Adik tunggu di dalam, ya?” ujarku lembut, sambil menggenggam piring itu.
***
Perlahan aku melangkah ke depan rumah Pak Roni. Salah seorang tetanggaku. Aku ketuk daun pintu rumahnya.
“Assalamualaikum, Pak Roni?” panggilku dari luar, menahan getir di tenggorokan.
“Waalaikumussalam. Eh, Pak Jenab. Ada apa?” jawab Pak Roni.
Aku menarik napas, lalu berkata lirih, “Punten, Pak. Apa ada sisa nasi atau lauk? Saya mau minta sedikit, untuk anak di rumah.”
Pak Roni Terdiam sejenak, wajahnya jelas menegang. Lalu ia menggeleng pelan. “Aduh. Maaf banget, Pak. Makan hari ini juga saya pas-pasan untuk keluarga saya.”
Aku terdiam sejenak di depan pintu Pak Roni. Jawabannya kuterima dengan hati getir. Aku tahu, bukan karena ia tak mau menolong, tapi karena ia pun sama susahnya. Aku tersenyum kaku, menahan kecewa.
“Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih,” ucapku pelan sebelum beranjak pergi.
Langkah kakiku terasa berat saat menyusuri jalan setapak menuju rumah tetangga lain. Piring berdebu itu masih kugenggam erat. Aku mencoba menguatkan diri, meski dada sesak oleh kenyataan.
Di dalam hati aku bergumam, “Beginilah nasib kami, rakyat kecil. Untuk sesuap nasi saja harus mengetuk pintu ke pintu. Sementara para pejabat duduk di kursi empuk, rapat berhari-hari, tapi perut kami tetap lapar. Mereka sibuk berdebat soal proyek, sementara anak-anak kami hanya bisa menatap kosong menahan perih di perutnya.”
Aku mengetuk pintu rumah tetangga berikutnya. Sambil menunggu jawaban dari dalam, aku menarik napas panjang, menahan amarah yang berputar di kepala.
“Kapan ya, negeri ini benar-benar memikirkan kami? Jangan-jangan sampai anakku dewasa, semua masih begini saja…”
Tak lama, pintu rumah itu terbuka.
“Eh, Pak Jenab. Ada apa, Pak?” tanya Bu Halimah.
Aku menunduk, lalu berkata, “Punten, Bu. Saya mau minta nasi sedikit, kalau ada sisa. Untuk anak di rumah.”
Bu Halimah terdiam. Pandangannya mengarah ke piring berdebu yang kubawa. Ia menarik napas panjang.
“Astagfirullah, Pak Jenab. Maafkan saya. Lauk di dapur hanya cukup untuk cucuku. Nasi pun hanya tinggal secangkir.”
Jawaban itu menamparku, meski aku sudah menduganya. Rasanya seperti mengetuk pintu nasib yang sama — lapar, kekurangan, pas-pasan.
Aku tersenyum pahit. “Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih.”
Langkahku mulai lunglai. Dalam hati aku menggerutu, “Pejabat-pejabat itu sibuk berbicara tentang angka-angka, sibuk berjanji. Tapi, lihatlah! Untuk sebutir nasi pun kami harus saling menahan malu. Mereka kenyang oleh gaji dan tunjangan. Sedangkan rakyat hanya kenyang oleh sabar.”
Aku menatap piring di tanganku. Entah kenapa, sepertinya semakin lama, pikiranku semakin terasa kosong.
***
Merasa tidak membuahkan hasil, aku pulang dengan tangan kosong. Menatap halaman rumah, dingin terasa menyelimuti. Perlahan kuayunkan langkah masuk. Hati terasa cemas, entah apa yang akan anakku katakana bila tahu ayahnya pulang tanpa sesuap nasi pun.
Aku melihatnya tidur lelap di atas kasur tipis. Tubuh mungilnya menghadap dinding rumah yang dingin. Kuusap pundaknya pelan, berharap ia bangun.
“Dik… bangun,” bisikku sambil menggoyangkan tubuhnya.
Namun, ada yang aneh. Suhu badannya sedingin tanah basah, tangannya pucat pasi. Aku menahan napas, menolak percaya. Tapi kenyataan menamparku. Ia telah pergi.
Aku terisak, menangis sejadi-jadinya. Semua harta yang kumiliki telah hilang. Dan di tengah tangis itu, hatiku berteriak, “Apakah kita benar-benar sudah merdeka?”
Pipitan, 17 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar