Esai Najullah, S.Pd.I. (Dimuat di Kabar Banten, 5 September 2024) Salah seorang paman memberikan komentar di grup WA terhadap tulisan saya yang berjudul “Kurikulum Merdeka, Sudahkan Gurunya Merdeka?” yang dimuat di koran harian umum Kabar Banten , 16 Agustus 2024. “Kurikulum Merdeka tidak membuat siswa menjadi takwa”, begitulah komentar yang beliau sampaikan. Meskipun saya sering mendengar selentingan negatif tentang Kurikulum Merdeka, saya tidak pernah menghiraukannya. Menurut saya lahirnya selentingan negatif itu karena didominasi perasaan apatis terhadap kurikulum yang diterapkan pada sistem pendidikan di Indonesia yang dianggap sering gonta-ganti. Saya sudah menjelaskan panjang lebar tentang masalah ini pada artikel tersebut di atas. Tapi, tidak dengan komentar yang satu ini. Bagi saya ini sangat menarik untuk diulas. Alasanya bukan hanya karena yang memberikan komentar adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam yang sudah lebih dari 30 tahun mengajar di salah satu SMP Negeri d
Esai Mela Sri Ayuni (Dimuat di NGEWIYAK, 29 Agustus 2024) Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Umumnya paling rendah berusia 19 tahun sampai tidak terbatas usia, ia berjalan seolah semua keilmuan miliknya (Febri Saefulloh dalam buku Mahasiswa Mencari Dirinya , 2021). Bebas menggunakan apa pun di lingkungan kampus, dianggap sudah dewasa. Pada tahun pertama, ia biasanya cukup disibukkan dengan banyaknya tugas yang harus dikumpulkan pada minggu yang bersamaan. Mengikuti organisasi (entah apa yang dicari, biasanya berhenti di tengah jalan), mencari referensi outfit , nongkrong untuk kopi darat, menyuarakan aksi, dan teman hati. Inilah secuil dari kebiasaan mahasiswa masa kini. Saya pun sebenarnya masih mahasiswa yang sedang mencari esensi dari mahasiswa itu sendiri. Saat ini saya sedang ada di fase semester akhir yang asyik. Tetapi selama bolak-balik kampus tidak banyak yang didapat, hanya satu, yaitu perubahan pola pikir. Memang terdengar sa